Alasannews.com || Pontianak,12 November 2024 – Sidang praperadilan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah Bank Kalbar di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak pada Selasa, 12 November 2024, mengabulkan permohonan tiga tersangka, yakni SU, mantan Komisaris Bank Kalbar; SA, mantan Direktur Utama Bank Kalbar; dan MF, mantan Ketua Tim Pengadaan Bank Kalbar. Dalam putusan tersebut, hakim tunggal Joko Waluyo menetapkan bahwa status tersangka terhadap ketiga tokoh tersebut dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum.
Putusan ini sontak memicu pertanyaan publik mengenai proses penetapan tersangka yang dinilai tergesa-gesa oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalimantan Barat. Keputusan ini pun dianggap sebagai peringatan bagi lembaga penegak hukum untuk lebih cermat dan transparan dalam penanganan kasus yang menyangkut dugaan korupsi.
Herawan Utoro, penasihat hukum ketiga tersangka, menegaskan bahwa kliennya hadir di Kejati Kalbar pada 30 September 2024 hanya untuk diperiksa sebagai saksi. Namun, tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya, status mereka mendadak berubah menjadi tersangka. Herawan juga mempertanyakan dasar penetapan tersebut, sebab jaksa penyidik dinilai tidak memaparkan peran jelas masing-masing kliennya dalam dugaan kasus korupsi yang terjadi pada 2015 itu.
"Jaksa tidak menjelaskan bukti keterlibatan klien saya dan tidak menunjukkan bukti yang cukup terkait peran mereka," kata Herawan. Selain itu, ia mengungkapkan bahwa proses penetapan tersangka dilakukan tanpa minimal dua alat bukti yang sah.
Herawan juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam kasus ini, mengingat pada tahun 2016, laporan terkait pengadaan tanah Bank Kalbar yang sama sudah pernah ditangani oleh Kejati Kalbar, tetapi disimpulkan tidak mengandung unsur tindak pidana. "Pada saat proses pembelian tanah, bahkan sudah ada pendampingan dari Tim Jaksa Pengacara Negara dan diketahui oleh Kejati Kalbar," tegas Herawan.
Sejak putusan praperadilan ini dikeluarkan, muncul kekhawatiran publik terkait dugaan adanya kepentingan lain di balik penetapan tersangka kasus ini. Selain tiga mantan pejabat Bank Kalbar, Ketua DPRD Kalbar terpilih, Paulus Andy Mursalim, juga dijadikan tersangka hanya dua hari sebelum pelantikannya. Paulus, yang diketahui merupakan mantan Bendahara DPD PDIP Kalbar, diduga terjerat kasus ini karena adanya persaingan politis terkait Pilkada Kalbar mendatang.
Kasus pengadaan tanah Bank Kalbar juga dibandingkan dengan kasus dugaan korupsi Dana Hibah Mujahidin, yang hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti di Kejati Kalbar. Dugaan keterlibatan seorang calon gubernur dalam kasus tersebut sempat mengemuka, namun seiring waktu seolah meredup, mengundang tanda tanya di kalangan masyarakat.
"Kasus ini terasa dipaksakan, sedangkan kasus korupsi Dana Hibah Mujahidin belum ada kejelasan. Ini yang membuat masyarakat menilai ada dugaan kasus pengadaan tanah ini dimunculkan untuk mengalihkan perhatian," ujar salah satu aktivis anti-korupsi di Kalbar.
Dikabulkannya praperadilan ini tidak hanya memunculkan pertanyaan soal transparansi dan akuntabilitas Kejati Kalbar, tetapi juga mendesak adanya evaluasi atas kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) di Kalimantan Barat. Masyarakat meminta Jaksa Agung RI, ST Burhanuddin, turun tangan mengevaluasi penanganan perkara di Kejati Kalbar agar citra dan reputasi positif Kejaksaan Agung tetap terjaga.
Menurut beberapa pengamat, kasus yang mencuat ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap Kejati Kalbar. Terlebih, berbagai laporan audit kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kalbar belum diterbitkan, sehingga memperkuat anggapan masyarakat bahwa kasus ini sarat akan nuansa politis.
Publik berharap agar Kejati Kalbar bekerja sesuai asas profesionalitas dan independensi, serta mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam setiap penetapan tersangka. Penguatan integritas dan keterbukaan informasi menjadi hal yang esensial agar kepercayaan masyarakat tetap terjaga.
Tim-Liputan
Redaksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar