Alasannews.com || Pontianak , KALBAR – Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Listyo Sigit Prabowo kembali mengeluarkan pernyataan tegas untuk memberantas mafia tanah sebagai bentuk dukungan terhadap Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Pernyataan ini juga menggarisbawahi komitmen dua lembaga tersebut untuk menindak tegas pelaku kejahatan pertanahan, bahkan dengan menerapkan pasal berlapis, termasuk Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Meski terdengar kuat dan bersemangat, masyarakat memandang skeptis terhadap janji tersebut. Bukan kali pertama pejabat negara mengumumkan rencana pemberantasan mafia tanah dengan nada optimisme tinggi. Sejak 2017, Polri dan BPN telah berulang kali menandatangani kesepakatan kerja sama yang mencakup pembentukan tim terpadu untuk memerangi mafia tanah sekaligus menekan praktik pungutan liar (pungli). Namun, kenyataannya, aktivitas mafia tanah tidak hanya tetap terjadi, tetapi bahkan semakin merajalela.
Dr. Herman Hofi Law, seorang pengamat hukum, menilai bahwa janji pemberantasan mafia tanah dari para petinggi Polri dan BPN saat ini seakan hanya menjadi bentuk “hiburan publik” tanpa adanya dampak nyata di lapangan. Menurutnya, pernyataan seperti ini hanya sebatas janji di atas kertas dan tidak diiringi oleh konsistensi penegakan hukum. “Pemberantasan mafia tanah membutuhkan komitmen kuat dan langkah tegas yang konsisten, bukan sekadar wacana yang diulang-ulang,” jelas Dr. Herman.
Penambahan pernyataan baru dari Kapolri dan Menteri ATR/BPN yang menjanjikan pendekatan yang lebih keras hanya dianggap publik sebagai “lagu lama.” Rakyat merasa jenuh, dan kepercayaan terhadap janji semacam ini semakin memudar. Di berbagai daerah, persoalan pertanahan masih berlarut-larut. Di Kalimantan Barat, misalnya, praktik mafia tanah bahkan sering kali melibatkan perusahaan besar yang merampas tanah masyarakat desa—tanah yang diwariskan secara turun-temurun, bahkan yang sudah bersertifikat hak milik. Ketika warga mencoba mempertahankan hak mereka, mereka justru dikriminalisasi dengan berbagai delik yang dikenakan.
Kurangnya upaya konkret dari aparat penegak hukum dan pemerintah daerah dalam menangani persoalan pertanahan dan mafia tanah ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum. Padahal, dalam hal peraturan perundang-undangan, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang cukup memadai untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah. Pasal 263 KUHP, misalnya, mengatur hukuman pidana enam tahun bagi pihak yang memalsukan surat-surat yang merugikan masyarakat. Selain itu, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), PP No. 24 Tahun 1997, dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 telah memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah.
Namun, Dr. Herman Hofi Law menyoroti bahwa upaya pemberantasan mafia tanah tidak akan berhasil selama aparat penegak hukum dan pihak pemerintah daerah tidak konsisten dalam menegakkan aturan yang sudah ada. “Peraturan tanpa implementasi yang tegas dan transparan hanya akan memperkuat mafia tanah. Aparat seharusnya melindungi hak masyarakat atas tanah mereka, bukan membiarkan oknum tertentu memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat, terutama di desa-desa,” tambah Dr. Herman.
Sejauh ini, minimnya langkah konkret dalam memberantas mafia tanah, terutama di Kalimantan Barat, membuat publik merasa pesimistis terhadap keseriusan pemerintah dan aparat hukum dalam melindungi hak-hak masyarakat atas tanah. Publik berharap bahwa janji-janji ini bukan sekadar retorika tanpa tindakan nyata. Tindakan tegas dan transparan dari pemerintah serta aparat penegak hukum sangat diharapkan, bukan hanya untuk menenangkan hati masyarakat, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di negeri ini.
Sumber :Herman Hofi Law
Red / Gugun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar