Pontianak, KALBAR||Alasannews.com – Dunia hukum Indonesia tengah dikejutkan dengan penetapan Tom Limbong sebagai tersangka atas kebijakan impor gula yang dianggap bermasalah secara hukum. Kebijakan ini, yang diduga mengandung unsur pidana, telah membuka diskusi mendalam tentang batas antara kesalahan administratif dan pidana dalam kebijakan publik. Di daerah seperti Kalimantan Barat, kasus ini menciptakan kekhawatiran baru di kalangan pejabat daerah yang merasa terancam oleh risiko kriminalisasi atas kebijakan yang diambil untuk kepentingan publik.
Kebijakan publik adalah bagian krusial dari kewenangan seorang pemimpin dalam merespons kebutuhan masyarakat. Namun, kebijakan yang dianggap "salah" sering kali baru diketahui hasilnya setelah implementasi, atau dalam istilah hukum disebut sebagai *post factum*. Artinya, masyarakat dan pihak penegak hukum sering kali menilai kebijakan itu berhasil atau gagal setelah kebijakan tersebut dilaksanakan.
Dr. Herman Hofi Munawar, pengamat hukum dan kebijakan publik di Kalimantan Barat, menjelaskan bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pejabat publik sebenarnya harus dilandasi oleh analisis mendalam, baik dari segi yuridis maupun implementasi. “Banyak pejabat publik yang enggan mengambil kebijakan strategis karena takut menghadapi risiko hukum. Padahal, kebijakan yang diambil seharusnya tidak dapat dipidana selama kebijakan itu dijalankan dalam batas kewenangan dan sesuai peraturan,” ungkap Dr. Herman.
Ia menambahkan bahwa Pasal 50 KUHP dengan jelas menyatakan bahwa “barang siapa yang melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, tidak boleh dihukum.” Ketentuan ini seharusnya memberi perlindungan kepada pejabat publik yang menjalankan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Namun, kriminalisasi terhadap kebijakan publik, seperti yang terjadi dalam kasus Tom Limbong, menimbulkan ancaman besar terhadap keberanian pejabat untuk melakukan inovasi yang diperlukan oleh masyarakat.
Kalimantan Barat membutuhkan berbagai kebijakan strategis untuk menghadapi tantangan pembangunan dan ekonomi. Namun, dengan munculnya tren kriminalisasi terhadap kebijakan, pejabat publik di provinsi ini semakin khawatir akan risiko pidana jika keputusan mereka dinilai keliru oleh publik atau aparat hukum. Hal ini berpotensi menciptakan stagnasi inovasi dalam birokrasi, di mana para pejabat daerah menjadi ragu untuk mengambil keputusan berisiko yang mungkin dibutuhkan dalam kondisi tertentu.
“Bila setiap kebijakan yang salah kemudian dikategorikan sebagai tindak pidana, maka pengambilan kebijakan akan terhenti,” lanjut Dr. Herman. “Kita akan kehilangan inisiatif untuk membuat keputusan penting karena pejabat lebih takut terhadap ancaman pidana daripada terpacu untuk melayani masyarakat.” Kondisi ini dikhawatirkan justru menghambat pelayanan publik di Kalimantan Barat dan menciptakan kelumpuhan birokrasi.
Kriminalisasi kebijakan publik perlu diatur dengan hati-hati, terutama jika kebijakan yang dianggap "salah" tersebut tidak disertai niat jahat atau unsur memperkaya diri sendiri. Dr. Herman menjelaskan bahwa hukum pidana tidak mengenal tanggung jawab kolektif atau kolegial. Oleh karena itu, dalam konteks kebijakan publik, tanggung jawab harus dibebankan hanya kepada individu yang terbukti memiliki niat jahat atau bertindak dengan tujuan memperkaya diri atau pihak lain.
"Banyak kerugian negara yang terjadi bukan karena tindakan kriminal, tetapi akibat kesalahan administratif atau persoalan perdata, seperti wanprestasi," tambah Dr. Herman. Ia menekankan bahwa tidak setiap kebijakan yang merugikan negara otomatis menjadi tindak pidana korupsi. Penggunaan hukum pidana harus didasarkan pada bukti yang kuat mengenai niat jahat, bukan sekadar asumsi.
Kasus Tom Limbong adalah pelajaran penting bagi para pemimpin dan pejabat publik di Kalimantan Barat serta daerah lainnya. Masyarakat berharap agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan publik, namun pada saat yang sama aparat penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan kriminalisasi. Apabila setiap kebijakan yang dianggap keliru selalu dipidana, maka pejabat publik akan lebih memilih untuk tidak melakukan tindakan apapun daripada berisiko terkena jerat hukum.
Dr. Herman menggarisbawahi bahwa kebijakan yang diambil tanpa niat jahat serta dalam batas kewenangan seharusnya tidak masuk dalam ranah pidana. Namun, jika kebijakan tersebut terbukti diambil dengan maksud memperkaya diri sendiri atau pihak tertentu, maka penegakan hukum harus berjalan. Oleh sebab itu, penting bagi aparat hukum untuk membedakan antara kesalahan administratif dan tindak pidana agar inovasi dalam birokrasi tidak terganggu.
Dengan demikian, publik dan aparat hukum diharapkan dapat memahami batasan antara kebijakan yang gagal dan tindak pidana, sehingga inovasi dalam pemerintahan tetap dapat berjalan tanpa ancaman kriminalisasi yang tidak tepat sasaran.
Sumber : Dr.Herman Hofi Law
Red || Gugun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar