Pontianak, Alasannews.com – Industri kelapa sawit Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar di tengah fluktuasi harga minyak nabati dunia yang sedang mengalami penurunan. Dalam acara "Workshop" IPOSC dan EXSPO di Hotel Aston Pontianak, Andi Putra Damanik, S.P., pengusaha kelapa sawit sekaligus perwakilan PKSS, mengungkapkan bahwa meski volume ekspor kelapa sawit mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, nilai ekspor justru menurun akibat harga minyak nabati global yang lesu.(20/9).
“Saat ini volume ekspor kelapa sawit memang naik jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2022. Namun, secara nilai justru mengalami penurunan karena harga minyak nabati dunia sedang turun,” ujar Andi ketika diwawancarai oleh media.
Andi menjelaskan bahwa kelapa sawit, meskipun mendominasi pasar minyak nabati dunia dengan pangsa 33%, bukan satu-satunya jenis minyak nabati yang ada. Minyak nabati lainnya, seperti minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai, tetap memainkan peran penting dalam menentukan dinamika harga minyak di pasar global.
“Maka dari itu, kelapa sawit tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada gangguan pada pasokan minyak nabati lain, seperti yang terjadi dengan minyak biji bunga matahari dari Rusia dan Ukraina, hal ini pasti akan berdampak pada harga kelapa sawit,” tambahnya.
Situasi geopolitik yang sempat memengaruhi ekspor minyak biji bunga matahari, terutama dari kawasan Rusia dan Ukraina, sempat membuat harga minyak nabati melonjak tajam. Hal ini juga yang memicu Indonesia untuk menghentikan sementara ekspor minyak sawit pada saat itu demi menjaga stabilisasi harga minyak goreng di dalam negeri.
Namun, keputusan pemerintah Indonesia untuk menghentikan ekspor kelapa sawit beberapa waktu lalu juga memberikan dampak jangka panjang. Andi menjelaskan bahwa para pembeli internasional, atau *buyers*, kini lebih santai dalam menyikapi fluktuasi harga. Mereka memahami bahwa ketika stok minyak sawit di dalam negeri menumpuk, pemerintah pada akhirnya akan kembali membuka keran ekspor dengan harga yang sudah mengalami penurunan.
“Para *buyers* luar negeri tahu bahwa Indonesia pada akhirnya akan membuka kembali ekspor ketika stok berlimpah, sehingga mereka tidak terburu-buru membeli sekarang. Akibatnya, harga kelapa sawit jatuh ketika ekspor kembali dibuka,” kata Andi.
Dalam kesempatan yang sama, Andi juga menyinggung tantangan teknis dalam pengelolaan kebun sawit. Umur produktif tanaman sawit rata-rata mencapai 25 tahun, namun produksi puncaknya biasanya terjadi pada usia tanaman 15 tahun. Setelah usia tersebut, produktivitas akan menurun, sehingga diperlukan peremajaan kebun yang berkelanjutan.
“Peremajaan kebun sawit adalah hal yang penting untuk memastikan produktivitas tetap optimal. Saat ini, produksi per hektar per tahun sawit biasanya mencapai puncaknya pada umur 15 tahun,” ucap Andi.
Meskipun menghadapi tantangan signifikan, Andi Putra Damanik tetap optimis bahwa dengan kebijakan yang tepat, industri kelapa sawit Indonesia dapat kembali bangkit. Ia menekankan pentingnya perhatian serius dari pemerintah pusat, termasuk dari Kementerian Pertanian dan Direktorat Jenderal Perkebunan, untuk mendukung keberlanjutan industri ini. Andi juga menyoroti bahwa Kalimantan Barat merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia setelah Riau, sehingga memerlukan perhatian khusus.
“Kalbar menduduki peringkat kedua setelah Riau, namun masih banyak permasalahan yang harus diperbaiki. Kami berharap agar pihak-pihak terkait lebih serius dalam menangani isu-isu di sektor ini,” tutupnya.
M.supandi/Jai
Editor/Gugun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar