Palu , Alasannews.com - Benarkah PT Bank Sulteng statusnya terancam turun menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) jika tidak segera menambah modal sebesar Rp 3 triliun?
Direktur Kepatuhan Bank Sulteng Judy Koagow membenarkan jika seandainya Mega Corporate tdak suntik dana Rp 3 Triliun sebagai garansi Ke OJK bisa saja status PT Bank Sulteng akan terancam turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
"Penambahan modal sebesar Rp 3 triliun itu jika tidak dipenuhi oleh pemegang saham yakni Pemprov Sulteng , Kabupaten dan Kota hingga Desember 2024, maka Bank Sulteng dan kelompok bank ini mau tidak mau statusnya turun kelas menjadi BPR " kata Judy Koagow Direktur Kepatuhan Bank Sulteng kepada koran berita Alasannews.com lewat pesan WhatsApp Minggu (28/1/2024).
Dana Rp 3 triliun menurut Judy Koagow disuntik Mega Corporate sebagai penambahan modal PT Bank Sulteng dan ini merupakan garansi diberikan
pemilik CT Corporate, Chairul Tanjung kepada pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar PT Bank Sulteng harus masuk dalam kelompok usaha bank Mega Corporate sehingga Pemprov Sulteng dan Kabupaten/Kota dapat memenuhi modal sebagai usaha perbankan. Jika tidak kelompok bank ini akan turun status.
"Kalau Pemerintah Provinsi Sulteng dan Kabupaten/ Kota sebagai pemilik saham Bank Sulteng belum dapat menyediakan/menganggarkan, dan tidak ada jaminan dana, maka pemeritah harus menyetor untuk memenuhi modal Rp 3 T. Jika tidak mampu setor maka Bank Sulteng akan turun status menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR)" kata Judi
Terpisah pengamat ekonomi bisnis M. Ahlis Djirimu Ph.D kritisi adanya suntikan dana modal PT Bank Sulteng dari Mega Corporate.
"Saya belum dapat data valid berapa sebenarnya penambahan modal PT. Bank Sulteng oleh Mega Corporate (MC)? Apakah utuh Rp 3 triliun atau kurang dari Rp 3 triliun-. Apakah proporsi saham MC diperkenakan oleh regulasi?" kata M Ahlid Djirimu kepada koran berita Alasannews.com lewat pesan WhatApp Minggu (28/1/2024)
M Ahlis Djirimu Ph.D Lektor Kepala Fekon Bisnis Untad Palu, menyebut Bank ini sepertinya mengalami fenomena yang di dalam ekonomi "Shoe-Leather Cost", yakni layanan belum optimal pada nasabah, dan shoe-leather cost nasabah tanpa kepastian. Tentu dialami juga oleh nasabah lain. Ini contoh sederhana sebagai layanan perbankan tanpa kepastian.
"Layanan internal yang belum optimal, tetapi sudah bergabung dengan pihak swasta yang entitasnya tidak sama karena kemungkinan rasa ketakutan downgraded menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) supaya Capital Adequacy Ratio (CAR) cukup sebagai bank dengan modal Rp 3, triliun." ujar Ahlis.
Dari pengamatannya Ahlis melihat Bank Sulteng sepertinya dikelola dengan gaya manajemen "Birokrasi Priyayi", akibatnya Bank Sulteng kiprahnya hanya menjadi seperti "kasir sementara" pelaksanaan APBD termasuk belanja-belanja rutin 13 kabupaten/kota dan provinsi sulteng sebagai pemegang saham. Masalahnya masih pada gaya manajemen usang.
"Saya kurang sependapat bergabungnya PT. Bank Sulteng dengan KUB ( Kelompok Usaha Bismis) Mega Corporate karena sebagai satu-satunya bank milik sulteng, jika Mega Corporate sebagai pihak swasta profesional dapat meningkatkan kepemilikan saham, lalu Mega Corporate dapat mengakuisisi PT. BS. Tentu sejarah akan mencatatnya sebagai kisah kontroversi" ujar Ahlis.
Red / Gugun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar