Tergadainya etika, moral dan akhlak kaum intelektual karena terjebak dalam kepongahan fanatism keilmuan yang kering dari spiritualitas dan religiusitas (keagamaannya) yang tak percaya pada kekuasaan Tuhan yang akan menebarkan azab dan siksa duniawi yang harus ditanggung juga oleh anak, istri hingga cucu dan cicit.
Gelar agung seorang rektor sebagai pucuk pimpinan dan panutan di perguruan tinggi dengan seperangkat titel dan jabatan akademiknya runtuh bersama institusi perguruan tinggi yang yang dipimpinnya untuk memproduksi sarjana yang semakin terlihat miring untuk kemudian tiada nilai apa-apa, kecuali menambah timpukan sampah sosial yang mengerikan
Agaknya, dari sanalah pandemi korup terus beranak-pinak hingga sulit dicegah apalagi hendak dihentikan. Kasus Rektor Universitas bergengsi di Lampung belum selesai, telah disusul oleh soal Universitas kebanggaan bagi masyarakat Bali di pulau Dewata itu, seperti menggenapi rasa malu kaum intelektual yang semakin meyakinkan perlu kembali ke jalan spiritual yang teguh dan patuh pada etik profetik.
Teriakan Profesor Salim Said yang mengatakan manusia Indonesia tidak takut kepada Tuhan -- karena hanya takut kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah membuat instansi pemberantasan korupsi itu semakin besar kepala mengemban tugas Kepolisian yang tak kunjung segera dikembalikan.
Fenomena dari keberadaan KPK pun, semakin meyakinkan bila budaya korupsi di Indonesia memang semakin beranak Pinak, karena jelas dipelihara untuk menjadi lapangan pekerjaan baru yang disesumbarkan ekstra spesial itu.
Hasrat Budayawan Emha Ainun Najib untuk membubarkan KPK pada beberapa tahun silam, karena salah memprediksi jika kejahatan tindak pidana korupsi sudah bisa dihentikan di Indonesia. Padahal realitasnya semakin merajalela.
Korupsi dan KPK -- sebagai lapangan pekerjaan baru bagi elit birokrasi yang tidak kebagian jatah pembagisn jabatan dan kekuasaan -- semacam konsesi politik yang pernah disepakati di belakang panggung kampanye dahulu, memang jatah pembagian itu bisa jadi sudah seharusnya negitu. Sama halnya dengan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila) yang mogol dan mangkrak seperti proyek yang cuma dimaksudkan untuk mendapatkan komisi semata itu, jelas telah gagal karena tidak jelas juntrungan manfaat dan kegunaannya, kecuali hanya untuk mensahkan pengeluaran anggaran proyek sebagai bagian dari upaya mengeruk keuntungan pribadi atau kelompok kolusi yang bersaing secara diametral dengan geng mafia narkoba di satu pihak, serta geng perjudian dipijak lain yang memiliki semacam sertifikat halal.
Kasus Rektor Universitas di Lampung dan di Bali yang telah menohok kemunafikan yang bungkus rapi selama ini di bilik akademik, sungguh sangat mengecewakan hati rakyat untuk percaya menyerahkan pendidikan anak dan cucu mereka guna menimba ilmu di perguruan tinggi yang dikelola dengan cara brengsek seperti itu. Kasus suap menyuap yang melanda dunia pendidikan di sangat mencederai hati rakyat. Karena hasilnya pasti akan melahirkan generasi yang lebih brengsek dari mereka yang kencing berdiri di muka kelas itu. Gejala serupa ini sungguh mengerikan, akibat dendam sosial yang ikut tertanam ketika mulai memasuki perguruan tinggi yang dikelola secara brengsek, pasti akan menjadi wabah yang kemudian akan ikut dibawa ke dalam masyarakat.
Lembaga pendidikan itu, ibarat ladang tempat menyemai benih. Sementara aparat penegak hukum bertugas menjaga persemaian bibit unggul yang kelak akan membuat kebahagiaan siapa saja yang kelak bisa ikut menikmati hasil panen yang baik dan benar prosesnya dengan cara memberi pupuk secukupnya dan dengan baik pula.
Pada hari ini agaknya generasi produk tahun 1980-1990 yang tengah berada pada puncak jamannya di pemerintahan. Jadi, ginjang-ganjing yang mencemaskan pada hari ini adalah Dharma dan karma yang harus kita nikmati bersama. Mulai dari berita tentang kasus E-KTP yang menyisakan nama Ganjar Pranowo yang disebut oleh Jaksa Penuntut Umum ikut menerima uang ketika masih menjabat Ketua Komisi II DPR RI di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN. Tipikor) Jakarta, 9 Maret 2017, sepatutnya tidak boleh dibiarkan terus beredar liar laporan news.detik.com ini, karena bisa menimbulkan kesan kebandelan dari berbagai pihak, termasuk bagi Ganjar Pranowo sendiri yang tidak perlu terganggu untuk maju menjadi Kandidat Calon Presiden Indonesia 2024-2029.
Atau, boleh jadi pula memang suatu kesengajaan untuk kampanye gratisan yang memang harus dibayar dengan harga yang mahal. Tetapi kasus korupsi sejumlah rektor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia hari ini, sudah menjadi semacam upaya keberhasilan tangan jahil iblis dan syetan melakukan permentasi sangat sempurna terhadap lembaga pendidikan yang menjadi basis pertahanan budaya generasi dari suatu bangsa agar tidak ditinggal oleh jaman.
Gonjang-ganjing pun berlanjut -- bahkan ikut pula berlarut-larut seperti kasus janggal dari peredaran uang 300 triliun di Kemenkeu seperti yang pernah diteriakkan Bupati Kepulauan Meranti, di Kemenkeu memang ada iblisnya. Dugaan pembiaran terhadap 8 Bank menggerus keuangan negara selama 2 tahun.
Lalu masalah KKN di Kominfo yang melibatkan adiknya Menteri Johnny G. plate sehingga membuat Presiden Joko Widodo berang dan dipermalukan. Sebelumnya adalah kepongahan keluarga Rafael Alun hingga kemudian terancam untuk dimiskinkan dengan Pasal TPPU yang belum pernah dibuktikan itu kebenarannya. Sebelumnya ada untaian kasus yang masih erat terkait dengan Drama Dari Duren Tiga. Bukan hanya para tokoh pergerakan bertanya dimana tempat Ferdi Sambo dipenjarakan sekarang, tapi juga cerita Linda Pujiastuti yang jujur mengaku pernah mengunjungi pabrik sabu di Taiwan bersama Teddy Minahasa -- sebagai Kapolda ketika itu -- yang akan menyeret sejumlah pemain narkoba di negeri ini.
Kasus lama yang baru bisa dibongkar diantaranya adalah Korupsi Beras Bansos oleh Direktur Utama Trans Jakarta, yaitu Kuncoro Wibowo bersama kaki tangannya di Provinsi DKI Jakarta.
Karena itu Emak-emak merasa perlu ikut turun ke jalan menyambangi KPK meneriakkan kegundahan hatinya yang sudah tidak mampu diatasi oleh Bapak-bapak -- kaum lelaki -- yang sudah capek demo dan aksi unjuk rasa ke berbagai instansi pemerintah, termasuk ke Istana Presiden untuk mendengar jerit, keluh dan derita rakyat.
Menurut Joyo Swantoro, maraknya korupsi menjelang Pemilu -- setidaknya untuk mensponsori kandidat Presiden agar nanti dapat jatah pembagian jabatan atau kekuasaan -- maka itu korupsi makin gila-gilaan dilakukan.
Kritik keras Partai Demokrat yang mengatakan pembangunan infrastruktur megah dimana-mana, tapi rakyat miskin tak ada perubahan perbaikan, itu bagian dari indikator korupsi termasuk peluang di IKN (Ibu Kota Negara) yang semakin santer menjadi perhatian banyak orang.jacob ereste
Gambir, 17 Maret 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar