Olah raga yang terlalu mahal harus ditebus dengan ratusan nyawa anak bangsa yang patut mewarisi negeri ini dengan peradaban yang tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar. Tidak juga cukup mengucapkan duka cita yang mendalam atas meninggalnya 129 orang dalam tragedi sepakbola di Kanjuruhan, Malang Jawa Timur itu, seperti kata Presiden Joko Widodo melalui YouTube Satpres yang beredar luas pada hari Minggu, 2 Oktober 2022.
Tak pula bijak menganjurkan agar Liga 1 menghentikan program yang telah baik untuk menyalurkan bakat dan minat rakyat kebanyakan untuk mencintai oleh raga, karena soalnya hanyalah antisipasi yang lemah dilakukan, sehingga beragam kemungkinan bisa terjadi -- apalagi sudah acap berulang terjadi tauran antara supporter itu -- seharusnya sudah dapat diatasi dengan berbagai alternatif pilihan.
Sistem penjagaan dan keamanan yang lebih tepat dan komprehensif dengan membuat klaster-klaster kecil yang terpisah -- bila perlu dengan pembatasan pagar yang kokoh dan kuat -- hingga bisa terhindar dari kerumunan yang liar, kemudian boleh terus dicoba dan diuji ulang dengan hasrat serius mau belajar dari pengalaman yang sudah-sudah.
Toh, dalam pergelaran Liga 1 pada musim ini saja sudah berulang kali terjadi bentrok antar supporter. Sementara Menko Polhukham sudah memastikan bahwa tragedi Kanjuruhan bukan karena bentrok antara supporter Persebaya dengan Arema, tetapi korban berjatuhan akibat berdesakan sesama penonton Arena sendiri yang ada di lapangan akibat panik karena semprotan gas air mata.
Konon, penggunaan gas air mata di lapangan olah raga pun dilarang. Lalu bagaimana mungkin larangan seperti itu bisa dilanggar ?
Para supporter Arema yang saling menghimpit dan menginjak-injak sesama supporter hingga sesak nafas semakin menjadi-jadi karena ditimpali oleh gas air mata, patut untuk diusut karena gas air mata yang disemprotkan petugas itu bisa menjadi sebab utama kepanikan semua orang yang ada di dalam stadion itu.
Dalam insiden ini, pihak supporter Persebaya jelas tidak ada di dalam stadion -- seperti sudah dipastikan oleh Menko Polhukham -- karena memang supporter Persebaya tidak diperbolehkan ikut menonton pada event kompetisi ini. Jadi, tauran yang dikatakan terjadi antara supporter itu jelas tidak benar. Kecuali hanya untuk memiuhkan pemberitaan semata.
Insiden di stadion Kanjuruhan ini mencerminkan budaya bangsa Indonesia dalam olah raga saja pun masih setengah matang, bila tidak boleh dikatakan masih sama sekali mentah dan tidak juga mampu diolah agar dapat menjadi bagian dari budaya bangsa yang lebih beradab. Maka itu, melakukan tindak penghentian Liga 1 untuk terus melanjutkan program yang sudah dilakukan sungguh tidak bijak, atau setidaknya semakin menunjukkan keyidakdewasaan bangsa Indonesia dalam budaya olah raga. Lalu bagaimana dalam lingkup budaya yanglebih luas pada bidang yang lain ?
Padahal, semua itu hanya terletak pada usaha serius dalam semua event -- tak hanya oleh raga -- yang nyaris dilakukan dengab cara serampangan. Asal jadi, alias tidak profesional. Boleh jadi dari pihak panitianya sudah maksimal melakukannya, tapi elemen pendukung bisa saja tidak karuan juklak maupun praktek pelaksanaannya di lapangan.
Setidaknya, dari suruh video yang beredar merekam peristiwa di lapangan Kunjutuhan itu, ada kesan pelampiasan kemarahan terhadap supporter. Toh, kalau pun harus dihakau, tidaklah patut diperlakukan seperti binatang.
Sebagai contoh, anak-anak remaja yang sudah jatuh tersungkur serta meminta ampun itu misalnya, mengapa masih harus dianiaya seperti tak berhak hidup hingga terkesan harus dimatikan atau dibuat cacat ?
Olah raga itu sendiri sesungguhnya untuk membangun karakter bangsa yang sportif dan gentel serta jujur untuk mengakui kekalahan dengan rendah hati, sehingga peradaban yang baik dan luhur bisa dibangun, jauh dari sikap arogan serta bar-barian. Karena itu, insiden buruk di Kunjuruhan harus diusut tuntas, mengapa sampai terjadi korban berjatuhan ratusan jumlahnya itu. Sebab, satu nyawa manusia pun tidak bisa dinilai dengan apapun juga bentuknya.
Tragedi di Kunjuruhan yang sangat memilukan hati ini, akan menjadi catatan sejarah yang kelam dalam bidang olah raga di Indonesia yang belum pula ada yang dapat jadi kebanggaan, utamanya untuk ikut membangun budaya bangsa. Jadi wajar bila segenap warga bangsa berduka, menitikkan air mata. Sedih ! Sungguh perih, ratusan generasi yang diandalkan untuk mewarisi negeri ini, gugur sia-sia.
Banten, 2 Oktober 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar