Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

NEGERI KAYA MINIM PAD, TINGGI KEMISKINAN, PERLU DESAIN dan ELABORASI IMPLEMENTATIF

7/11/2022 | 07:55 WIB | 0 Views Last Updated 2022-07-11T00:56:35Z



Oleh Hasanuddin Atjo

Sulawesi Tengah merupakan satu  diantara Provinsi di Pulau Sulawesi yang diberi kekayaan sumberdaya alam berupa tambang nikel, gas, emas, dan batuan lainnya. Selain itu memiliki sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Pertanian pangan, Perkebunan, Peternakan serta di sektor Pariwisata menjanjikan. 

Awal terbentuk, Provinsi ini terdiri atas  4 kabupaten yaitu Donggala, Poso, Tolitoli, dan Banggai. Saat ini telah mekar menjadi 13 Kabupaten/ 1 kota yaitu Buol, Parigi Moutong, Sigi, Banggai Kepulauan, Banggai Laut, Tojo Unauna, Morowali, dan Morowali Utara serta Kota Palu. 

Pada tahun 2020 Produk Domestik Regional Bruto, PDRB perkapita  di Sulawesi Tengah atas dasar harga berlaku sebesar Rp 63,7 juta, ($US 4.425), naik sebanyak  4,8 % dari sebelumnya Rp 60,8 juta, diatas nasional  $US 3.870, meski saat itu ekonomi global  sangat terganggu karena dampak pandemic Covid 19

Prestasi ini memposisikan  Provinsi terletak di tengah pulau Sulawesi ini, menjadi salah satu daerah yang  pertumbuhan ekonominya  masuk  tertinggi di Negeri ini. Hanya saja diperhadapkan  kepada persoalan  disparitas PDRB antarkabupaten dan kota yang semakin jomplang. 

PDRB perkapita Morowali di tahun 2020 menjadi tertinggi di  Sulteng sebesar Rp 502,4, juta (atau setara  dengan Korea Selatan $US 33,5 ribu), kemudian disusul, Morowali utara sebesar  Rp 85,51 juta ($US 5,78  ribu) meninggalkan induknya Kabupaten Poso dengan nilai PDRB perkapita hanya sekitar Rp 40 juta rupiah ($US ,2,7 ribu) dan berada di peringkat ke 8 di Sulteng. 

Kabupaten Morowali merupakan  hasil pemekaran Kab. Poso tanggal  2  Mei tahun 1999. Dan kemudian Kab. ini dimekarkan  lagi di tanggal 12 April tahun 2013 menjadi Kab. Morowali Utara, kabupaten ke 12 di Sulawesi Tengah.  Meskipun relatif baru dimekarkan kedua kabupaten ini memiliki PDRB tertinggi pertama dan kedua di Sulteng. 

Di tahun 2019  pertambangan dan pengggalian menjadi kontributor terbesar bagi PDRB Kab. Morowali yaitu sebesar 17,94 %, menyusul Industri pengolahan, terutama nikel sebesar 17,33 %, Transportasi dan Pergudangan 14,85 %, Konstruksi 13,31 %. Sementara itu kontribusi sektor yang berkaitan  kebutuhan primer relatif kecil. 

Sektor pengadaan air, pengolahan sampah, limbah dan daur ulang berkontribusi - 0,08 %, Penyediaan akomodasi dan makan minum 0,28 %, Pengadaan listrik dan gas 1,85 % serta kontribusi sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan sebesar 2,85 % yang notabenenya hampir 60 % menjadi ladang penghidupan warga Morowali. 

PDRB Kab. Banggai yang didukung oleh industri gas duduk di peringkat ke 3 sebesar Rp 71,8 juta, dan Kota Palu, yang merupakan bukota dari Provinsi Sulawesi Tengah berada di peringkat ke 4 dengan nilai PDRB perkapita sebesar Rp 60,89 juta, atau setara $US 4,115 ribu. 

PDRB perkapita peringkat bawah disandang Kab. Banggai Laut, yaitu  Rp 30,56 juta. Dan di atasnya ada Kab. Banggai Kepulauan dan Buol dengan PDRB per kapita masing-masing sebesar Rp 30,57 juta dan Rp 34,12 juta atau kurang dari $US 3000. 

Pada umumnya Kabupaten di Prov. Sulteng, PDRBnya didominasi oleh kontribusi dari sektor Pertanian, Kehutanan, Perikanan. Kabupaten  seperti ini memiliki pertumbuhan PDRB dan PDRB perkapita yang rendah.  Kontribusi dari sektor ini dari tahun ke tahun secara umum menunjukkan angka yang semakin menurun, sementara itu sekitar 60 % masyarakat bekerja di sektor itu.

Data di tahun 2021 menunjukkan bahwa industri pengolahan ( utama komoditi nikel) menjadi penopang utama perekonomian di Sulawesi Tengah dengan kontribusi 34,88%. diikuti sektor pertanian, kehutanan, Perikanan sebesar 18,23%, serta pertambangan dan penggalian 14,72%, disusul serktor konstruksi, transporatsi dan pergudangan. 

Sepuluh tahun lalu, di tahun 2011 kontribusi dari sektor kelompok pertanian hampir separuh (48%) dari total PDRB Sulawesi Tengah. Dan hal ini memberi makna bahwa pertumbuhan PDRB dan  PDRB  Perkapita  yang tinggi pada tahun 2021 disebabkan menguatnya pengaruh sektor pertambangan dan penggalian, sektor Industri pengolahan, transportasi dan pergudangan, serta dari sektor konstruksi. 

Meskipun pertumbuhan dari PDRB perkapita berada di klasemen atas, PAD Provinsi ini pada tahun 2021 kurang lebih 1 triliun rupiah.  PAD Kota Palu pada tahun yang sama tertinggi se Sulteng  sebesar Rp 341,6 milyar, disusul Morowali Rp 338 milyar,  Banggai Rp 230 milyar dan Kab. Tolitoli Rp 124 milyar. 

Kabupaten Parigi Moutong sekitar Rp 108 milyar, dan Morowali Utara  Rp102 milyar.  Sementara itu Poso  sekitar Rp 100 milyar. Selanjutnya PAD 5 kabupaten lainnya yaitu Donggala, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut  dan kab. Sigi kurang dari Rp 50 milyar . Kabupaten yang PADnya kecil tentunya harus jadi perhatian Pemeritah daerah yang bersangkutan dan Provinsi. 

Peningkatan PAD didalam RPJMD Sulteng di tahun 2021 -2026 telah menjadi salah satu  prioritas Rusdy Rusdy Mastura, Gubernur Sulawesi Tengah, melalui peningkatan fiskal yang di akhir 2026 diproyeksikan menjadi sebesar 10 triliun rupiah. Dan tinggal bagaimana skenario merealisasikan target yang dinilai fantastis, karena meningkat 400 %. 

Share PAD (total Provinsi dan Kab/Kota) terhadap nilai APBD Sulteng tahun 2021, kurang dari 15 %, dan ini masih sangat bergantung dana transfer dari Pemerintah pusat. Idealnya,  share PAD bagi APBD di atas 50 %, agar ada  percepatan dan pemerataan pembangunan di 13 kabupaten dan satu kota. Masih diiperlukan kerja sama dan keras Provinsi dan Kabupaten/Kota agar ada percepatan peningkatan PAD. 

Nilai APBD  Sulteng di tahun 2021 sebesar Rp 16,3 triliun, Provinsi Rp  4 triliun dan selebihnya berada di 13 kabupaten dan satu kota.  Dan Sulteng berada pada peringkat ke 20 dari 33 Provinsi (tidak termasuk  DKI). Provinsi Sulsel di peringkat 6 dengan nilai APBD Rp 36,90 triliun. Sementara itu Sultra  di peringkat ke 18 dengan nilai APBDnya pada tahun sama sebesar Rp 18,142 triliun.  

Angka kemiskinan di Sulteng masih menjadi persoalan serius didalam 10 tahun terakhir.  Pada September 2021 angka kemiskinan di Sulteng sebesar 12,18% , diatas nasional  sekitar 9 %.  Dan di Sepuluh tahun lalu (2011) angka kemiskinan di daerah ini sekitar 18 % dan berada di kelompok 10 besar kelompok Provinsi termiskin hingga saat ini. 

Diidalam RPJMD tahun 2021-2026 telah ditargetkan pada akhir tahun 2026 angka kemiskinan di Provinsi ini dapat ditekan hingga 7 %. Dan ini kemiskinan merupakan tugas dan pekerjaan rumah ketiga bagi Pemerintah se Sulawesi Tengah setelah disparitas PDRB perkapita antarkabupaten dan PAD yang masih minim. 

Secara umum tahun 2021, hampir seluruh kabupaten di Provinsi  ini kemiskinannya  berada di atas 10 % kecuali kab.Banggai dan Kota Palu di angka  6 - 7 %.  Kota Palu kontribusi dan pertumbuhan 17 sektor usaha terhadap PDRB  relatif seimbang, demikian halnya dengan kab. Banggai, sehingga keduanya mampu menekan angka kemiskinan. 

Awal Juli tahun 2022,  bersama tim yang akan berinvestasi di Morowali dan Morowali Utara berkunjung ke dua daerah ini untuk melihat dari dekat peluang investasi supporting bagi sektor pertambangan maupun penggalian dan industri olahannya yang saat ini sangat menarik minat sejumlah investor dalam maupun luar negeri. 

Dari kunjungan tersebut terungkap sejumlah tantangan dan peluang yang dapat dimanfaatkan untuk percepatan pembangunan Sulteng yang lebih inklusive, meningkatkan kapasitas fiskal serta menurunkan angka kemiskinan yang tergolong masih tinggi. Dan kedua kabupaten  ini dinilai akan menjadi pemicu bagi Provinsi Sulawesi Tengah, sehingga desainnya perlu dipersiapkan. 

Peluang dan tantangan yang bisa dimanfaatkan dengan keberadaan investasi smelter nikel dan baterai lithium untuk motor listrik termasuk kendaraan listrik di dua kabupaten ini antara lain; Pertama, kebutuhan primer seperti air kemasan serta pangan lainnya yang sebahagian besar masih didatangkan dari luar Sulawesi Tengah  karena dari sisi volume dan mutu belum memenuhi syarat. 

Kedua, kebutuhan sejumlah tenaga kerja dengan ketrampilan khusus diperkirakan mencapai 300 ribuan orang bila 4 kawasan Industri nikel sekelas  IMIP, Indonesian Morowali Industrial Park selesai dibangun. Dan IMIP,  saat ini diperkirakan mempekerjakan sekitar 61 ribu tenaga kerja.  Yang menarik bahwa upah kerja “tukang sapu” sebesar 6 juta rupiah per bulan. 

Gaji yang tinggi tentunya menarik tenaga kerja di sektor lain untuk bermigrasi ke dua kabupaten ini dan bisa menjadi masalah baru bagi kabupaten lainnya apabila ini tidak dipersiapkan secara baik. Bisa terjadi kelangkaan tenaga pada sektor sektor lain. 

Ketiga adalah, kebutuhan sarana akomodasi dan kebutuhan lainnya mulai makan dan minum, homestay serta hotel berbagai kelas hingga berbintang 5, mengingat berbagai orang dengan status sosial yang berbeda beda akan datang dan berinvestasi di kedua kabupaten ini. 

Keempat kebutuhan hiburan dan rekreasi bagi sejumlah tenaga kerja  dan membuka peluang bagi sektor industri pariwisata di Kab. Morowali seperti Kepulaan Sombori, danau Poso dan Patung Megalitnya,  Kep Togian di Tojo Unauna dan potensi destinasi wisata lainnya. 

Kelima, kebutuhan energi listrik kapasitas “raksasa” untuk industri smelter dan baterai lithium. Saat ini untuk memenuhi kebutuhan di IMIP, besaran energi yang diperlukan telah mencapai 1.100 Megawatt atau 1.100.000 Kilowatt dan akan bertambah seiring perkembangan IMIP. Sedang dibangun 4 kawasan industri sekelas IMIP di Morowali dan Morowali Utara. 

IMIP mendatangkan batubara dari Kalimantan dalam jumlah jutaan kubik per tahun untuk kebutuhan pembangkit listrik. Suply material ini dinilai sejumlah kalangan kurang efektif dikarenakan kapal tongkang harus berlayar lebih jauh berputar ke Sulawesi Utara kemudian tiba di Morowali.

Gagasan Gubernur Sulteng saat itu Bandjela Paliudju di tahun 2008 untuk membangun terusan yang diberi nama “Terusan Khatulistiwa” tentunya perlu dibuka kembali dan bisa paralel dengan gagasan  “Tol, jalan bebas hambatan Tambu dan Kasimbar” yang dua tahun terakhir ramai dibicarakan setelah IKN baru resmi berpindah ke Kalimantan Timur. 

“Terusan Khatulistiwa” dinilai akan  menciptakan efisiensi transportadi dan logistik. Batubara dari Pulau Kalimantan  dapat diangkut ke Kab. Morowali dan Morowali Utara. Dan Ore, bahan baku Nikel juga dapat diangkut ke Pulau Kalimantan bagi industri smelter yang saat ini juga sedang dibangun. Industri smelter juga membutuhkan sejumlah air tawar dalam kapasitas besar. 

Sejumlah tantangan yang harus diantisipasi bagi kedua kabupaten ini antara lain tatakelola tataruang wilayah yang harus menerapkan prinsip keberlanjutan, resiko banjir dan krisis air bersih akibat proses eksploitasi penambangan yang belum menerapkan prinsip ramah lingkungan. 

Terakhir diperlukan sebuah desain atau redesain dan elaborasi yang implementatif antar kabupaten dan kota agar keberadaan kabupaten Morowali dan Morowali Utara bisa memberi manfaat yang besar bagi kabupaten di sekitarnya dan terjadi hubungan simbiosis mutualisme bermuara kepada keseimbangan.  
Artikel ini akan dilanjutkan pada di kesempatan berikutnya , dan lebih menekankan kepada desain dan tatakelola. SEMOGA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

×
Berita Terbaru Update