Palu 17 Juni 2022
Oleh Mochtar M
Di Indonesia dan di berbagai belahan dunia pada umumnya masyarakat punya persepsi yang hampir sama. Banyak yang masih meyakini bahwa pendidikan tinggi sebagai jalan menuju kesuksesan dunia. Tapi tenyata hal itu tidak sepenuhnya relevan dengan kenyataan yang ada. Faktanya banyak orang terkaya di dunia justru drop out atau tidak lulus bangku kuliah karena berbagai alasan.
Ada banyak orang sukses yang tidak melanjutkan kuliah tapi mereka hanya belajar dari Universitas kehidupan. Dan jargon universitas kehidupan bisa dinalogikan sebagai Menara Seluler Vis Avis Menara Gading (Universitas).
BELAJAR DARI UNIVERSITAS KEHIDUPAN
Bill Gates pendiri dan mantan CEO Software raksasa Microsoft ternyata pernah gagal dari Universitas Harvard. Bill berhenti kuliah bukan karena tidak mampu tapi karena ingin fokus pada pengembangan Microsoft.
Mark Zugerberg pendiri dan CEO Facebook juga gagal dari Universitas Harvard. Dia tidak melanjutkan kuliah bukan karena tidak mampu atau melanggar peraturan kampus tapi dia ingin fokus mengembangkan Facebook.
Steve Jobs pendiri Apple drop out dari Reed College saat berusia 19 tahun karena kesulitan ekonomi. Michael Dell pendiri Komputer dan Laptop Dell juga berhenti kuliah dari Univeritas Texas karena ingin fokus mengembangkan Komputer Dell.
Mereka berhenti kuliah di kampus Menara Gading tapi melanjutkan kuliah di universitas kehidupan hingga menjadi hingga menjadi Miliarder kelas dunia.
Semua menjadi orang sukses dunia dan Crazy Rich terkenal dengan aset kekayaan yang sangat fantastis. Menurut data Forbes per Senin 18 April 2022 kekayaan bersih atau net worth Bill Gates saat ini berkisar di angka USD 132,3 miliar atau sekitar Rp 1.900 triliun lebih. Kekayaan Mark Zuckerberg tercatat turun drastis sebesar USD 30 miliar atau sekitar Rp430 triliun pada Kamis 3 Februari 2022. Steve Jobs yang wafat satu dekade lalu meninggalkan aset kekayaan kepada istrinya Laurene Powell Jobs sebesar Rp. 291,9 Triliun. Pendiri perusahaan komputer Dell Inc, Michael Dell merupakan salah satu orang terkaya di dunia berharta Rp520 triliun.
Ada masih banyak lagi kisah orang sukses dan miliarder kaya raya yang dulu pernah gagal kuliah di kampus perguruan tinggi tapi sukses belajar dari universitas kehidupan.
Rocky Gerung pernah dikritik balik oleh kelompok yang bersebrangan dengan pandangan politiknya. Dia dibilang suka mengkritik pemerintah dan sejumlah pejabat tinggi negara tanpa menyadari bahwa dirinya sendiri juga punya banyak kelemahan dan juga punya pengalaman gagal. Baik itu kehidupan publik dalam hal karir dan profesi maupun wilayah privat dan sering diledekin teman-temannya karena sampai saat ini masih bujangan alias masih gagal menemukan jodoh walaupun sudah usia 63 tahun. Tapi konon Ricky pernah berkelakar, "Biar jo kita masih bujangan asal bukan bajingan...hehehehehe...."
Rocky dibilang akademisi gagal karena pernah kuliah di beberapa fakultas, pindah-pindah dan setelah belasan tahun baru bisa selesai kuliah dan baru meraih gelar S1 Sarjana Sastra (SS).
UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen menetapkan bahwa dosen profesional yang berhak mengajar di perguruan tinggi minimal harus memiliki latar belakang pendidikan setara Magister atau S2. Dan syarat tersebut hingga kini belum mampu atau mungkin belum mau dipenuhi ole Rocky Gerung.
Namun, oleh banyak penggemar dan simpatisannya Rocky termasuk orang yang sangat cerdas dan dianggap sebagai seorang akademisi dan pengamat yang sukses karena banyak belajar dari universitas kehidupan. Oleh sebab itu Rocky juga sangat sering dipanggil Profesor atau dijuluki sebagai pengamat politik hebat walaupun backgroundnya hanya Sarjana Sastra (SS).
Terkait kritikan balik sejumlah netizen di media sosial, jawaban Rocky sederhana tapi cerdas dan menohok. Nyong Manado dan aktivist sejati yang pernah malang melintang di berbagai organisasi sosial dan politik adalah seorang mantan dosen UI yang beken. Dia pernah jadi pembimbing sejumlah publik figur serta selebiriti top. Rokcy pernah mengeluarkan Quote yang viral dan sangat inspiratif.
Quote Rocky, "Gelar dan Ijazah itu bukti lu pernah sekolah bukan bukti lu bisa mikir".
Quote Rocky ini patut juga diamini karena terbukti banyak juga orang yang kuliah sampai meraih gelar atau mendapatkan ijazah atau kualifikasi tapi minus pretasi dan defisit i kompetensi keilmuan. Mungkin waktu kuliah sering berlaku curang atau kurang serius belajar giat.
Di negara-negara maju peserta didik diajarkan berfikir kritis, mampu menggunakan analisa kritis dan punya kemampuan literasi yang mumpuni.
Oleh sebab itu mahasiswa dilatih kemampuan menulis dan membaca kritis. Harus mampu menggunakan Parafrase dan summary untuk menghindari kasus plagiasi atau ketidakjujuran akademis. Model pembelajaran menghafal atau rote learning pada mata pelajaran atau mata kuliah tertentu dianggap tidak lagi kompetibel.
JARGON FENOMENAL MENARA GADING DAN MENARA SELULER
Kini ada dua Menara yang mungkin bisa dianggap sebagai jargon fenomenal dalam kehidupan baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Dan frase tersebut adalah Frase Menara Gading yang istilahnya mungkin jauh lebih duluan dikenal dari pada frase Menara Seluler.
Terminologi menara Gading dari perspektif historis edukatif bisa dihubungkan dengan Era masa Plato di Yunani yang membentuk cikal bakal perguruan tinggi atau disebut academia yang didirikan 387 SM, kemudian di masa Kekaisaran Bizantium (Kaisar Michael III) mendirikan Universitas Magnaura 849, disusul Universitas Preslav dan Ohrid di Bulgaria dan Macedonia pada abad ke-9, Universitas Bologna di Italia 1088, hingga abad pertengahan didirikan Universitas Paris, Universitas Oxford di Inggris pada abad ke11 dan abad ke 12. Kini Universitas adalah lembaga utama sebagai penopang dan penuntun kehidupan masyarakat modern yang kini sering diedentikkan dengan Menara Gading.
Berdasarkan data Statistik Indonesia tahun 2022, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki 3.115 perguruan tinggi yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air. Saat ini terdapat lebih dari 25.000 ribu perguruan tinggi di dunia. Dan ada 100 perguruan tinggi terbaik di dunia tapi kebanyakan berada di negara-negara barat atau di negara negara maju dan hanya segelintir di Asia dan Afrika.
Era digital dimulai sejak revolusi industri 1.0 tenaga manusia dan hewan digantikan oleh mesin, pada saat itu terjadi peningkatan kualitas ekonomi menjadi lebih baik di berbagai negara akibat era revolusi 1.0. Kemudian mesin-mesin itu semakin dikembangkan pada era revolusi 2.0.
Revolusi digital berkembang selanjutnya, disebut revolusi digital 3.0 dimulai tahun 1970 - 1990, pada masa inilah masa waktu dan ruang jadi terasa lebih dekat, tidak berjarak.
Mesin-mesin canggih dibuat dan membuat produksi menjadi lebih efektif dan efisien yang pada akhirnya membuat pengurangan tenaga kerja manusia secara besar-besaran.
Selanjutnya kita masuk pada revolusi digital 4.0 dimana ada banyak perubahan yang terjadi dan persaingan semakin meningkat, perusahaan yang mampu menyajikan teknologi yang lebih canggih menjadi lebih unggul daripada yang lainnya.
Dan dewasa ini telah muncul istilah Trend otomisasi dan pertukaran data yang makin canggih, munculnya AI (Artificial Intelegence), Internet of Things (IoT) dan big data.
Frase Menara Gading mulai dikenal dan dipopulerkan sejak masa kolonial. Sedangkan frase Menara Seluler mulai diperkenalkan di Era Milinial sejak berkembangnya teknologi digital dan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence).
Menara Gading bisa diasosiasikan dengan perguruan tinggi atau universitas baik itu negeri maupun swasta. Di lembaga pendidikan tinggi yang diedentikan dengan Menara Gading masyarakat bisa belajara secara tatap muka (off line), melakukan kegiatan praktikum, riset dan publikasi.
Dan Strata Pendidikan mulai dari level Diploma, Sarjana dan Pascasarjana (Magister dan Doktoral). Model pembelajaran ada yang off line, online, atau virtual, hybrid, belajar independent, bimbingan dan konsultasi, ada juga critical thinking, critical analysis, case studies dan project base. Dan kalau di negara maju pada program pascasarjana model pendidikannya ada yang coursework dan ada yang by research.
Civitas Akademika yang lagi menuntu ilmu di Menara Gading juga bisa memamfaatkan menara seluler apalagi di Era digital saat ini di mana lebih banyak akativitas dilakukan dengan pemamfaatan teknologi digital dan kecerdasan buatan.
Dewasa ini Menara Seluler juga identik dengan universitas kehidupan di mana masyarakat luas yang inklusif bisa belajar secara otodidak dengan pemamfaatan teknologi digital, internet, smart phone dan berbagai glatform media sosial.
Tujuan masyarakat memafaatkan Menara Seluler adalah untuk keperluan yang bersifat komunikatif, informatif, edukatif, riset dan publikasi dan aktivitasnya tentu dilakukan secara virtual atau online.
Baik Menara Gading maupun menara seluler punya plus minus. Punya hal-hal dianggap bersifat eklusif, inklusif dan unik.
Menara Gading diasosiasikan dengan dunia yang ekslusif yang seolah-olah punya sekat atau dinding pemisah dengan kehidupan di dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya kehidupan Akademisi tapi juga kehidupan Filosof dan Seniman sering identik dengan Menara Gading.
Kelompok tersebut mungkin sebagian orang mengkategorikan sebagai kelompok yang ekslusif karena memiliki keunikan tersendiri.
Dan kini di Era informatif atau Era digital identik dengan Era Menara Seluler karena hampir di seluruh pelosok dan penjuru dunia kehidupan masyarakat sangat tergantung pada jaringan internet dan penggunaan telepon pintar yang memamfaatkan Menara Seluler.
Dalam beberapa kegiatan ilmiah seperti webinar, sejumalah pakar, praktisi dan politisi sempat menyinggung hal-hal yang terkait dengan isu Menara Gading dan Menara Seluler.
Misal disebutkan bahwa dampak dari digitalisasi adalah tumbuhnya orang-orang berego tinggi, orang yang lebih mengutamakan dirinya sendiri ketimbang orang lain. Hal ini dikatakan oleh Syarifudin Yunus, Kepala Program TBM Lentera Pustaka dalam sebuah webinar Literasi Digital wilayah Kota Bekasi, Jawa Barat pada Selasa lalu.
Lebih jauh Syarifudin mengungkapkan, digitalisasi telah membuat perubahan kehidupan sosial yang tidak lagi dibangun berdasarkan kolektivitas tapi dibangun berdasarkan egoisme dan individualisme. Konsekuensinya interaksi yang bersifat tatap muka akan semakin tersingkirkan.
Terkait dengam isu Menara Gading, Puan Maharani ketika diundang sebagai Pembicara Utama (Keynote Speaker) di Kampus Almamaternya di Universitas Indonesia (UI), dalam sebuah acara Webinar yang diselenggarakan oleh Majelis Wali Amanah UI. Puan sempat menyinggung jargon atau frase Menara Gading.
Puan Maharani yang saat ini Ketua DPR RI memaparkan menara gading dunia pendidikan Indonesia sudah tidak dapat lagi dipertahankan karena membuat para peserta didik tidak adaptif terhadap perkembangan zaman.
Lebih lanjut beliau katakan, “Menara gading adalah kondisi dimana pendidikan menjadi tempat seseorang belajar sambil terpisahkan dirinya dari masyarakat, dan setelah selesai maka kembali ke masyarakat, tanpa memahami cepatnya perubahan yang terjadi di luar kampus".
Beliau katakan alumni perguruan tinggi harus mampu beradaptasi dengan lungkingan dan kehidupan nyata serta mampu mengikuti perkembangan teknologi di Era Digital saat ini.
Jika ada Menara Gading merujuk pada hidupan ekslusif di dunia academia kampus, secara paralel juga tentu di Era Digital ini sebaiknya ada jargon baru kehidupan yang inklusif dan mungkin bisa juga disebut Menara Seluler.
DAMPAK DARI JARGON MENARA YANG FENOMENAL
Kenapa disebut Menara Seluler vis a vis Menara Gading ?
Menara Gading berkonotasi kehidupan dunia kampus yang eksluif tapi Menara Seluler sebaliknya merupakan dunia inklusif karena hampir semua masyarakat tanpa ada sekat sosial, kehidupannya sangat tregantung pada pemamfaatan jaringan seluler yang bisa membantu pengggunanya mengakses dan sekaligus menyebarkan informasi secara lebih muda dan nyaman.
Menara Seluler tentu juga menjadi suatu fasilitas dan pengalaman proses pembelajaran Otodidak. Demikian juga bisa dimamfaatkan untuk melakukan komunikasi dan transaksi bisnis secara lebih cepat nyaman dan relatif lebih aman.
Mungkin ada juga sisi kontroversial dari Universitas kehidupan yang identik dengan Menara Seluler atau dunia maya. Ditengarai bahwa fasilitas Menara Seluler bagi univeritas kehidupan bisa juga dimamfaatkan pada hal-hal yang mungkin tidak bersifat edukatif tapi justru sebaliknya hanya bersifat fun, friendly dan mungkin kurang produktif. Dan terkadang hanya menciptakan kehidupan yang lebih individualistis dan egois (Selfish).
Dalam moment tertentu misalnya kalau ada sepuluh orang yang lagi antri menunggu panggilan di depan counter atau loket pelayanan baik itu di bank atau di Rumah Sakit atau di mana saja, kayaknya sering hampir semua pada sibuk sendiri dengan telpon selulernya tanpa memperhatikan satu sama lainnya.
Kegiatan sosial tegur sapa dan ngobrol ngobrol sering tergantikan oleh aktivitas dunia maya mulai dari kegiatan chatting, browsing internet, Googeling, mengikuti webinar, buat content, bermain TikTok, Facebook atau main Twitter, Telegram, Instagram, nonton video youtube atau film Netflix dan mencari informasi peluang pekerjaan di LinkDIN.
Namun tentu kehidupan di industri 4.0 atau era distrupsi ini di lain sisi juga dirasakan sangat besar mafaatnya karena para pekerja dan masyarakat umum bisa memamfaatkan teknologi digital untuk belajar tutorial dan mengakses berbagai pengetahuan dan informasi yang sangat dibutuhkan untuk memgembangkan usaha atau bisnis mereka.
Teringat beberapa waktu lalu seorang teknisi Telivisi datang ke rumah untuk memperbaiki TV layar datar kami yang lagi bermasalah. Teknisi itu bukan tamatan dari sekolah kejuruan seperti STM jurusan elektronik tapi dia justru tamatan Sekolah Menengah atas Umum (SMA). Dia katakatan bahwa dulu dia hanya kursus elektronik waktu TV masih teknologi lebih sederhana belum versi digital seperti sekarang.
Dia ceritakan bahwa teknologi digital kini berkembang sangat pesat dan cepat jadi kami juga harus mengikuti perkembangan liwat internet jadi mengandalkan menara Seluler.
Kemampuan otodidak yang dipelajari melalui universitas kehidupan di Menara Seluler patut diacungi jempol karena terbukti hasil reperasi atau servis TV layar datar tersebut sangat memuaskan dan Alhamdulillah sampai sekarang sudah jalan enam bulan lebih TV yang diperbaikinya tidak pernah bermasalah.
Ada banyak lagi pekerja dan wirausahawan yang tidak pernah kuliah di perguruan tinggi baik itu universitas swasta maupun universitas negeri tapi mereka hanya belajar melalui universitas kehidupan kuliah otodidak dan memamfaatkan infrastruktur menara seluler hingga bisa mengantarkan karir dan usaha mereka terus maju dan berkembang.
Menara Gading menghasilkan outcome dan output yang dimamfaatkan oleh lapangan kerja dan dunia industri. Menara seluler menghasilkan peserta didik otodidak yang tidak mengaharapkan sertifikat atau ijazah tapi karya dan jasa mereka juga telah memberi kepuasan kepada pelanggan dan mereka juga layak mendapat sertifikasi dan apresiasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar