Oleh Hasanuddin Atjo
Bonus demografi menggambarkan keadaan penduduk di satu negara, dimana usia yang produktif (15-64 tahun) lebih besar dari usia tidak produktif, dan terjadi hanya sekali. Bagi Indonesia, puncaknya berada diantara tahun 2028 - 2030
Momentum yang sangat berharga ini sudah harus dipersiapkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan sekaligus meningkatkan status Indonesia sebagai negara berkembang menjadi negara maju. Bila keliru, maka kesempatan yang baik dan strategis tersebut akan sirna dan hilang begitu saja.
Jepang, Korea Selatan, Malaysia, dan masih banyak lagi merupakan negara yang dinilai sukses didalam memanfaatkan bonus demografi mereka, dan berdampak terhadap ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Kemudian mengubah status dari berkembang menjadi negara maju.
Jika menengok jauh ke belakang di era 1970-an, Indonesia, Malaysia dan Korea Selatan pendapatan per kapitanya relatif sama satu dengan lainnya yaitu kurang lebih US$ 840. (Damanhuri,D.S, 2021). Kini kedua negara tersebut pendapatan per kapitanya melesat cukup jauh dan telah meninggalkan Indonesia.
Menurut ceidata.com bahwa pada tahun 2021 pendapatan per kapita Indonesia kurang lebih US$ 4.349 per tahunnya. Sedangkan Malaysia sebesar US$ 10.360, Korea Selatan US$ 34.743, dan Jepang lebih baik lagi yaitu sekitar US$ 39.344. Dan bila tetap tidak serius dipersiapkan, perbedaan akan semakin melebar.
Capaian kinerja seperti ini tentunya harus menjadi pembelajaran yang berharga, karena Indonesia dinilai memiliki SDA yang jauh lebih besar dan iklim tropis, namun belum bisa dimanfaatkan untuk peningkatan pendapatan. Pertanyaan kemudian yang muncul apakah ada skenario yang keliru.
Sejumlah referensi memberitakan bahwa Malaysia dan Korsel sejak tahun 1970 mengimplementasikan secara simultan, konsisten strategi industrialisasinya. Sementara itu negeri ini hanya melakukan hal itu sekitar 10 tahun, yaitu awal 1980 hingga akhir 1990. Ada inkonsisten dalam implementasi perencanaan yang termuat dalam REPELITA.
******
Bukan hanya bonus demografi, dan ketersediaan SDA menjadi faktor pendorong kenapa sektor pangan dan energi menjadi penting serta strategis pada masa akan datang. Sejumlah alasan ikut memperkuat pengembangan kedua sektor itu antara lain;
Pertama, bahwa tragedi pandemic covid-19 yang terjadi secara global telah meporakporandakan hampir seluruh sektor usaha, seperti jasa- konstruksi, perdagangan, industri transportasi, dan lainnya, terkecuali usaha di sektor pangan dan energi, dikarenakan ketersedian pangan dan energi serta distribusinya jadi sangat penting agar bisa bertahan hidup.
Cadangan devisa di hampir seluruh negara dialokasikan melawan virus Covid-19 yang mematikan. Bahkan dilakukan refokusing (pengalihan) sejumlah anggaran. “Lock Down” menjadi satu diantara strategi jitu, menekan laju penularan dari virus ini yang terbukti meregut jutaan nyawa manusia.
Ketersediaan pangan , energi dan distribusinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan agar keluar dari tekanan virus ini. Makan dan energi tidak bisa ditunda, bahkan dianjur harus banyak makan agar imun terbentuk. Negara yang cadangan pangan dan energi terbatas sudah tentu menghadapi tantangan yang lebih berat.
Kedua, perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung telah membuat ketersedian pangan maupun energi dunia terganggu, bahkan bisa saja mengarah ke krisis pangan apabila berlangsung lama, karena kedua negara itu merupakan kontributor besar dalam penyediaan pangan dan energi.
Ketiga, dampak dari pandemic dan boleh jadi karena perang Rusia dan Ukraina membuat sejumlah negara diambang kebangkrutan. Contoh, Srilangka tidak lagi memiliki dolar yang cukup untuk membayar BBM. Afghanistan sedang menghadapi krisis pangan dan kemiskinan akut serta pelanggaran HAM yang berat utamanya pada wanita.
******
Belajar dari pengalaman, dan trend pradaban baru ala millenial, maka pengembangan sektor pangan dan energi harus didesain dan dikemas dengan pendekatan industrialisasi serta diintegrasikan dengan digital mekanisasi sesuai dengan tipikal
milenial yang segera mendominasi penduduk Indonesia.
Bila ini mampu diintegrasikan maka sejumlah kalangan menilai bahwa Indonesia bisa menjadi salah satu negara maju yang berpendapatan tinggi di masa akan datang seperti pendapat Pricewaterhouse Cooper, sebuah lembaga akuntan ekonomi dunia di tahun 2017.
Diprediksi bahwa Indonesia di usia emas 100 tahun setelah merdeka (2045) bisa menjadi Negara maju, di urutan lima dunia setelah China, AS, India dan Brasil jikalau mampu maksimalkan bonus demografi dan diintegrasikan dengan potensi SDA pangan dan energi
Diperkirakan pada saat itu Produk Domestik Bruto, PDB mendekati US$ 7 triliun dan pendapatan per kapita kurang lebih US$ 25.000. Harapan ini tentunya memerlukan desain dengan cara cara baru dan harus konsisten didalam proses implementasi agar kesalahan lalu tidak berulang.
*****
Terakhir, “ keledaipun” tidak ingin masuk dua kali pada lubang yang sama. Dan Indonesia dengan SDA melimpah dan diberikan SDM yang berjumlah banyak tentunya harus bisa memanfaatkan kesempatan emas yang berharga ini.
Diperlukan bagaimana strategi dan langkah konkrit (peta jalan) agar harapan itu mampu direalisasikan. Tidak lagi “gagal” seperti era yang dikenal dengan konsep REPELITA dan saat ini berganti nama menjadj RPJPN-RPJMN.
Generasi muda, asosiasi himpunan pengusaha muda dikenal akronim HIPMI memikiki peran strategis dan penting mewujudkan rencana itu. Dan bagaimana skenario, langkah konkrit akan diulas , didiskusikan di kesempatan lain . SEMOGA