JAKARTA – Distrik Jinghai di China utara bukan surga penghasil beras. Terletak di sepanjang pesisir Laut Bohai, lebih dari setengah daratan kawasan itu terdiri dari tanah payau dan mengandung alkaline di mana tanaman tidak akan bisa bertahan.
Tapi, musim semi lalu, Jinghai menghasilkan 100 hektar beras. Rahasia panen berlimpah itu adalah jenis padi yang bisa bertahan pada tanah yang mengandung garam yang dikembangkan ilmuwan China dengan harapan dapat menjamin keamanan pasokan makanan yang terancam oleh naiknya permukaan air laut, meningkatnya permintaan beras, dan gangguan rantai pasokan.
“Para peneliti pertanian seperti kami harus memikul tanggung jawab untuk menjaga keamanan pangan,”
Dikenal sebagai “beras air laut” karena tumbuh di tanah mengandung garam dekat laut, beras jenis ini diciptakan dengan mengekspresikan gen secara berlebihan dari padi liar terpilih yang lebih tahan terhadap garam dan alkali.
Lahan uji coba di Tianjin – kotamadya yang mencakup Jinghai – mencatat hasil 4,6 metrik ton per hektar tahun lalu, lebih tinggi dari rata-rata nasional produksi varietas standar beras.
Capaian ini muncul ketika China mencari cara bagaimana mengamankan pasokan pangan dan energi domestik ketika pemanasan global dan ketegangan geopolitik membuat impor kurang dapat diandalkan. Negara itu memiliki seperlima dari populasi dunia, banyak rakyat yang perlu diberi makan, dengan kurang dari 10 persen lahan subur. Sementara itu, konsumsi beras meningkat cepat ketika negara itu semakin kaya.
Menurut Wan Jili, manajer di Pusat Penelitian dan Pengembangan Beras Tahan Saline-Alkali Qiangdo, beras air laut ini bisa membantu meningkatkan produksi beras China di tengah situasi yang sangat rumit akibat perubahan iklim.
Dikutip dari South China Morning Post, Senin (21/2), China telah meneliti beras tahan air garam ini sejak sekiyar 1950-an. Tapi istilah “beras air laut” baru mulai mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir setelah mendiang Yaun Longping, ilmuwan pertanian ternama China, mulai meneliti gagasan itu pada 2012.
Yuan, dikenal sebagai “bapak beras hibrida”, dianggap pahlawan nasional karena meningkatkan panen beras dan menyelamatkan jutaan orang dari kelaparan berkat mengembangkan varietas beras hibrida pada 1970-an. Pada 2016, dia memilih enam lokasi di seluruh China dengan kondisi tanah berbeda yang diubah menjadi lahan uji coba untuk menanam beras yang tahan garam.
Tahun berikutnya, China membangun pusat penelitian di Qingdao di mana Wan bekerja, Tujuan pusat penelitian tersebut adalah memproduksi 30 juta ton beras menggunakan 6,7 juta hektar lahan tandus.
“Kami bisa memberi makan 80 juta orang (dengan beras air laut),” kata Yuan dalam sebuah tayangan dokumenter pada 2020.”Para peneliti pertanian seperti kami harus memikul tanggung jawab untuk menjaga keamanan pangan,” ujarnya.Perubahan iklim membuat tugas itu semakin mendesak. Air laut China naik lebih cepat daripada rata-rata global selama 40 tahun terakhir. Berhasil mengembangkan beras yang tahan air garam dalam skala besar akan memudahkan negara ini untuk memanfaatkan semakin banyak lahan payau di kawasan itu. Presiden China, Xi Jinping telah menekankan dalam beberapa pertemuan dengan pejabat tinggi pemerintah bahwa memastikan pasokan kebutuhan primer adalah “masalah strategis utama” di tengah tekanan iklim dan geopolitik.
“Makanan untuk rakyat China harus dibuat oleh dan tetap di tangan orang China,” ujarnya pada Desember lalu.
Ilmuwan China sedang bertaruh bahwa lahan yang diabaikan karena tandus bisa diubah menjadi lahan produktif untuk memproduksi beras. Sekitar 100 juta hektar lahan di China, sekitar seukuran Mesir, tinggi kandungan garam (saline) dan alkalinenya. Sementara itu, lahan subur menurun 6 persen dari 2009 sampai 2019 karena urbanisasi, polusi, dan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.
Dukungan Pemerintah
Untuk menggunakan tanah payau sebagai lahan tanam, para petani secara tradisional mengairi lahan mereka dengan air tawar dalam jumlah besar. Pendekatan ini masih digunakan secara umum di beberapa kawasan pesisir. Tapi metode ini memerlukan air tawar dalam jumlah besar dan tidak ekonomis.
“China sedang mencari metode baru sekarang, untuk mengembangkan varietas beras yang bisa tahan dengan kandungan garam pada tanah,” jelas Zhang Zhaoxin, seorang peneliti dari Kementerian Pertanian China.
Walaupun beras air laut sebagian besar telah ditanam di lahan uji coba, Zhang mengatakan dia percaya budidaya komersil beras jenis ini akan meningkat dengan dukungan pemerintah.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Tim peneliti di Qingdao mengatakan Oktober lalu, pihaknya bisa mencapai target menanam 6,7 juta hektar beras air laut dalam waktu 10 tahun. Pada 2021, kelompok ini ditugaskan untuk mengolah 400.000 hektar lahan untuk memperluas produksi beras air laut.
“Jika China bisa lebih mandiri dalam makanan pokok, itu akan menjadi kontribusi bagi ketahanan pangan dunia juga,” kata Zhang. “
“Semakin sedikit impor China, semakin banyak negara lain akan memiliki.” (Enrico N. Abdielli/bergelora.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar