JAKARTA, ALASANnews.-
Mantan Menteri Pertahanan RI Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu berpeluang menjadi pihak yang ikut diperiksa Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit Kementerian Pertahanan (Kemhan).
Diketahui proyek satelit militer itu dibuat tahun 2015. Saat itu, Ryamizard Ryacudu menjabat sebagai Menteri Pertahanan RI
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah menjelaskan sejauh ini pihaknya belum mengagendakan pemeriksaan Ryamizard, namun seiring perkembangan penyidikan, mantan KSAD itu nantinya akan ikut diperiksa sebagai saksi.
Menurut Febrie, dalam proses penyidikan, pihaknya akan meminta keterangan berdasarkan bukti yang sudah didapatkan.
"Kami tidak melihat posisinya, tapi bagi orang-orang yang perlu dimintai keterangan dalam penyidikan dan itu korelasinya untuk pembuktian maka akan kami lakukan pemeriksaan," ujar Febrie, pada Jumat (14-01-2022), dikutip dari Kompas.com
Dugaan pelanggaran hukum dalam pengadaan satelit slot orbit Kemhan ini pertama kali diungkapkan Menko Polhukam RI Prof. Mahfud MD
Menko Polhukam RI Prof. Mahfud MD mengungkapkan sejumlah alasan proyek lawas itu baru diusut saat ini meski dugaan pelanggaran hukumnya sudah dibahas sejak 2018 saat sidang kabinet.
"Tahun 2018 saya belum jadi Menko, jadi saya tak ikut dan tak tahu persis masalahnya. Saat saya diangkat jadi Menko, saya jadi tahu karena pada awal pendemi Covid-19 ada laporan bahwa pemerintah harus hadir lagi ke sidang Arbitrase di Singapura, karena digugat Navayo untuk membayar kontrak, dan barang yang telah diterima oleh Kemhan," kata Mahfud, pada Sabtu (15-01-2022) dikutip dari Detik.com
Mahfud MD menuturkan, setelah menjabat Menko Polhukam, dirinya beberapa kali mengundang pihak terkait untuk rapat. Merasa ada yang menghambat, Mahfud MD, kemudian meminta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit hingga akhirnya ditemukan adanya dugaan pelanggaran hukum yang bisa merugikan negara.
Berikut Gambaran Perkara tersebut:
Pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kementerian Pertahanan (Kemhan) untuk mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia, sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.
Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar USD 20.901.209,00 kepada Navayo. (MG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar